Sunday, December 16, 2007

INDONESIA vs MALAYSIA

KONFLIK INDONESIA DAN MALAYSIA


Hubungan Indonesia dengan Malaysia akhir-akhir ini mengalami “perenggangan” bahkan mencapai “ketegangan”. Hal tersebut di sebabkan oleh klaim Malaysia terhadap Indonesia. Coba kita kembali mengingat kejadian terdahulu, kondisi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang kini memang sedang "terganggu" akibat adanya klaim sepihak pemerintah Malaysia terhadap blok Ambalat yang ada di Laut Sulawesi. Selama ini, hubungan kedua negara memang tidak selalu mulus. Dengan kata lain, relasi bilateral kedua negara memang tidak sepenuhnya diwarnai oleh kenangan manis.
Pada masa pemerintahan Soekarno, hubungan kedua negara satu rumpun ini pernah terguncang, bahkan mencapai klimaks, ketika Presiden RI Soekarno saat itu memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Indonesia saat itu melihat Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu memang lebih cenderung pro-Timur, dalam artian pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno, membenci segala hal yang berbau Barat. Karena kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris. Sampai saat ini pun, Malaysia, di samping Inggris, Singapura, dan sejumlah negara lainnya, merupakan anggota negara-negara persemakmuran Inggris.
Parahnya, hubungan Indonesia-Malaysia pada tahun 1960-an itu bisa dilihat dari sejumlah slogan politik yang marak saat itu. "Ganyang Malaysia" menjadi suatu kalimat yang populer pada masa itu. Untunglah, perseteruan antara saudara serumpun itu pulih kembali setelah Soeharto menjadi Presiden RI ke-2.
Jadi, jika melihat peta hubungan diplomatik kedua negara, tidaklah salah jika pemeo tersebut menjadi "hidup" kembali. Setidak­nya orang-orang yang meyakini kebenaran pemeo itu ingin mengingatkan Indonesia dan Malaysia bahwa sejarah bisa terulang.
Jadi, perseteruan yang pernah terjadi di antara keduanya pada masa lampau bisa kembali terjadi pada tahun ini. Indikasi ke arah itu menguat jika kita melihat kedua negara melakukan sejumlah tindakan pengamanan teritorial di sekitar perairan Karang Unarang Sulawesi Utara.
Tampaknya, luka lama akibat perlakuan Malaysia pada masa lampau yang sering mengklaim sepihak terhadap wilayah RI, belum pulih benar, sehingga sejumlah isu sensitif, khususnya yang berkaitan dengan teritorial pun berpeluang besar mengganggu hubungan saudara serumpun. Apalagi, masyarakat Indonesia melihat perilaku Malaysia belakangan ini cenderung melecehkan Indonesia. Perlakuan pemerintah dan rakyat "Negeri Jiran" tersebut kepada para TKI kita di sana sungguh merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Sebelum kasus TKI, kita pun sempat berang dengan klaim Malaysia terhadap Sipadan-Ligitan. Klaim sepihak pemerintah negeri jiran terhadap Pulau Sipadan-Ligitan, telah menyebabkan Indonesia kehilangan wilayah tersebut.
Dalam kasus tersebut, kedua negara, Indonesia dan Malaysia memang saling mengklaim kepemilikan wilayah tersebut. Akhirnya, sebagai solusi, kasus itu pun dibawa ke Mahkamah Internasional. Malangnya, pada tahun 2002 lalu, Indonesia kalah dalam persidangan penentuan kepemilikan pulau tersebut. Pulau itu pun resmi menjadi milik Malaysia meski sebenarnya sampai kini Indonesia "tidak rela" kedua pulau itu dimiliki "Negeri Jiran" tersebut.
Sentimen negatif rakyat kita akibat kasus TKI dan Sipadan-Ligitan belumlah hilang, kini muncul kasus Ambalat, yang akhirnya membuat rakyat kita tambah berang terhadap perilaku Malaysia yang arogan. Jadi, memang bisa dimengerti mengapa respons emosional masyarakat kita begitu meledak-ledak.
Apalagi, jika kita membicarakan masalah power yang dipunyai kedua negara, maka kita bisa perhatikan, power Malaysia kini berbeda jauh dengan power yang dipunyai negara itu pada tahun 1970-an atau 1980-an. Malaysia kini berkembang dengan sangat pesat. Malaysia punya soft power yang bisa dikatakan lebih unggul dibandingkan Indonesia. Kemakmuran ekonomi Malaysia telah membuat citra negeri tersebut relatif lebih baik. Apalagi, fakta menunjukkan begitu banyak warga negara kita mengais rezeki di sana sebagai pembantu rumah tangga dan buruh kasar lainnya. Warga kita di sana memang identik dengan pekerjaan rendahan tersebut. Setidaknya, banyaknya TKI yang tinggal di sana, membuat pemerintah Malaysia ingin mengatakan bahwa Malaysia kini lebih maju dari Indonesia. Soft power inilah yang digunakan Malaysia untuk berbuat seenaknya, termasuk mungkin dalam beberapa kasus :

  1. Kasus Ambalat bermula dari perlakuan pemerintah Malaysia yang memberi konsesi kepada perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di Laut Sulawesi. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut adalah milik Malaysia. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu.

Tidaklah mengherankan jika masyarakat kita marah sebagaimana ditunjukkan masyarakat Makassar yang menolak klaim Malaysia tersebut. Bahkan rakyat setempat meminta pemerintah kita untuk mengambil tindakan tegas terhadap ulah arogan pemerintah Malaysia. Slogan politik "Ganyang Malaysia" pun kembali populer dan ini bukan hanya terjadi di Sulawesi tetapi juga di Jawa Barat dan wilayah Indonesia lainnya. Mereka meminta pemerintah mempertahankan kepemilikan atas pulau itu.

Pemerintah RI memang telah mengerahkan tujuh kapal perangnya ke perairan Karang Unarang. Ini dilakukan bukan untuk mengajak Malaysia berperang tetapi semata-mata untuk menjaga kedaulatan wilayah RI. Apalagi, Indonesia sendiri merasa terhina ketika di lautan itu pun, sejumlah kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia juga berpatroli di sana. Indonesia melihat langkah Malaysia tersebut sudah tidak bisa ditoleransi. Dengan kata lain, Malaysia sudah melakukan pelanggaran teritorial maka Indonesia pun berhak untuk segera mengambil tindakan tegas.

Benar sekali, guna mempertahankan kedaulatan wilayah RI, tindakan tegas harus diambil tetapi tentu saja harus mengutamakan prinsip-prinsip antikekerasan. Pasalnya, kita selama ini sudah belajar dari sejarah bahwa penyelesaian konflik dengan menggunakan kekerasan bukan tindakan yang baik. Apa pun alasannya, kekerasan jangan dibanalisasi karena ketika kekerasan itu menjadi suatu hal yang banal (wajar), maka yang rugi kita semua.

Perundingan antara Malaysia dan Indonesia mengenai kepemilikan Blok Ambalat dan Ambalat Timur (sebutan oleh Indonesia) atau Blok XYZ/Blok ND6/ND7 (sebutan oleh Malaysia) akan memasuki perundingan yang lebih kepada masalah teknis. Klaim Malaysia terhadap Ambalat telah menimbulkan ketegangan dan menjurus kepada konflik terbuka diantara ke-2 negara serumpun tersebut. Klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat dan Ambalat Timur lebih didasarkan kepada kepentingan cadangan minyak dan gas yang dimiliki Blok Ambalat dan Ambalat Timur tersebut.

Faktor kepentingan ekonomi dan politik tentunya dasar dari klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Indonesia telah lebih dahulu mengusai Blok tersebut dan pada waktu yang sama, Malaysia tidak memprotes hal tersebut. Namun setelah melakukan kajian di kawasan Pulau Sipadan-Ligitan yang mengandung cadangan minyak dan gas, maka Malaysia melihat sepanjang Pulau Sipadan-Ligitan terus ke Blok Ambalat dan Ambalat Timur mengandung cadangan minyak dan gas yang sangat besar.

Klaim Malaysia atas blok Ambalat dan Ambalat Timur telah menimbulkan reaksi yang cukup keras oleh beberapa komponen bangsa dan membangkitkan ?konfrontasi? jilid ke-2 yaitu ?Ganyang Malaysia?. Di era Presiden Soekarno tahun 1960-an telah menimbulkan sentimen terhadap Malaysia (dulunya Malaya).

  1. Kasus Reog pun menjadi masalah.malaysia mengklaim bahwa kesenian reon adalah milik mereka. Akan tetapi klaim Malaysia tersebut sangat lah lemah.Seorang budayawan asal Ponorogo, Sutejo, mengemukakan bahwa pengakuan kesenian reog oleh Malaysia sangat lemah karena faktanya, secara nasional maupun internasional, seni itu sudah diakui berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Sutejo yang juga mahasiswa program S-3 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengemukakan bahwa kesenian reog memiliki pijakan historis yang sangat panjang dan kuat di Ponorogo yang dibuktikan dengan banyaknya tokoh seni tersebut. Ia mengakui bahwa bukti-bukti sejarah, baik yang tertulis maupun berupa benda-benda mengenai reog sulit ditemukan atau bahkan tidak ada di Ponorogo. Bahkan, Guru Besar Unesa Prof Setyo Yuwono Sudikan pernah menemukan bukti tertulis mengenai reog di Leiden, Belanda. Dia juga pernah mendampingi orang LIPI yang mengadakan penelitian reog di Ponorogo. Dan dia kira dokumentasi penelitian di LIPI juga bisa menjadi data penguat bahwa reog adalah milik Indonesia.

  2. Dan masih banyak kasus-kasus yang masih menjadi konflik seperti pengkleiman lagu rasa sayange dan si pitung .



TINDAKAN-TINDAKAN YANG DI LAKUKAN INDONESIA TERHADAP KLAIM MALAYSIA

  1. Mereinventarisasi pulau-pulau terluar Indonesia

  2. Meningkatkan kesadaran atas hak cipta

  3. Kawasan perbatasan tidak terabaikan

  4. Mempertahankan kebudayaan